INTRODUCE
My name HARIANTO from East Java, Madiun city and Demangan Villages

Selasa, 17 Februari 2009

Penyerbuan Militer ke Kampus ITB 1978


JAKARTA – PAGI hari 13 Februari 1978, Rektor Institut Teknologi Bandung (ITB) Iskandar Alisyahbana mendatangi rumah Panglima Kodam Siliwangi di Jl. Wastukencana, Bandung. Ia ingin menuntut penjelasan sekaligus tanggung jawab atas perbuatan pengecut yang diyakininya dilakukan tentara.

Rumahnya, semalam, diberondong tembakan senapan mesin membabi buta. Sejumlah peluru menerabas sampai ke kamar tidur anaknya. ”Hoe kunnen jullie zo laf zijn (mengapa kalian bisa begitu pengecut?)”, katanya begitu bertemu Panglima, Mayjen TNI Himawan Soetanto.

Panglima Siliwangi menyatakan sama sekali tidak tahu dan tidak mengerti motif penembakan tersebut. Kepada Alisyahbana, ia menegaskan, ”Keuntungan apa yang saya dapat? Sebaliknya perbuatan itu malah merugikan dan mencoreng kehormatan saya dan Siliwangi”.

Peristiwa penembakan rumah Rektor ITB di Jl. Sulanjana, Bandung adalah bagian dari tindakan kalap penguasa yang sudah tidak bisa lagi mentolerir gerakan ”inkonstitusional yang merongrong kewibawaan kepemimpinan nasional, yang menjurus penggagalan SU MPR 1978, mengancam kelangsungan pembangunan nasional, kestabilan dan keutuhan bangsa”.

Gerakan mahasiswa sudah bersemi sejak pertengahan 1977, yang diwujudkan dalam demonstrasi, arak-arakan, diskusi, DPR Jalanan, penyebaran pamflet, serta pemasangan poster dan spanduk. Hampir seluruh perguruan tinggi negeri maupun swasta bangkit bersuara. Tapi pusat kegiatannya adalah di Bandung, tepatnya di ITB.
Di kampus ITB, 24–27 Oktober 1977, diselenggarakan pertemuan 68 senat dan dewan mahasiswa se-Indonesia. Mereka mencetuskan Ikrar Mahasiswa Indonesia yang isinya mendesak MPR menggelar sidang istimewa untuk meminta pertanggungjawaban Presiden RI tentang penyelewengan-penyelewengan dalam pelaksanaan UUD 1945 dan Pancasila.

Operasi Kilat

Memasuki Januari 1978, gerakan mahasiswa makin bergelora. Pada 14 Januari, ITB menerbitkan Buku Putih, dan 16 Januari menggelar apel kesiapsiagaan yang diikuti sekitar 3.000 mahasiswa dan dihadiri oleh rektor. Di sini dibacakan sikap mahasiswa ITB yang ”tidak mempercayai dan tidak menginginkan Soeharto kembali sebagai Presiden RI”.
Sehari setelah apel ITB, Kopkamtib (Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban) bertekad menghentikan gerakan mahasiswa dan merancang operasi gerak cepat dan bersifat ”shock treatment”. Pernyataan mahasiswa ITB juga dianggap menantang pernyataan ABRI (ditandatangani Menhankam/Pangab, Wapangab, para kepala staf angkatan dan Kapolri) tepat sebulan sebelumnya yang ”akan mengambil tindakan tegas terhadap siapa pun yang akan merongrong kewibawaan kepemimpinan nasional”.

Operasi gerak cepat ini dilancarkan 18 Januari dan dinamai ”Operasi Kilat”. Pokok-pokoknya adalah: menangkap semua pimpinan dewan dan senat mahasiswa yang menandatangani ”Ikrar Mahasiswa 28 Oktober 1977”, ”black out” kampus dari media massa dan memberangus untuk sementara koran-koran yang ”mengipasi” (antara lain Sinar Harapan, Kompas, Merdeka).

Kemudian, masuk ke kampus-kampus untuk menindak rapat-rapat dan poster-poster. Menindak tegas Pati ABRI yang memberi angin. Membantu rektor untuk berani menjatuhkan sanksi akademis terhadap mereka yang terlibat gerakan.

Fokus operasi adalah Bandung, khususnya ITB. Ke sana dikerahkan pasukan berkekuatan 2.000 personel, terbagi dalam 12 satuan setingkat kompi. Pada 20 Januari mulai dilakukan penangkapan-penangkapan dan dini hari 1 Februari, tentara masuk menertibkan kampus-kampus.

Operasi Kilat di Jawa Barat menangkap 98 aktivis mahasiswa dari ITB, Unpad, Unpar, IPB, Unisba, IKIP Bandung, dll. Namun kendati pimpinan mahasiswa sudah ditangkap atau buronan (Rizal Ramli dan Al Hilal Hamdi baru ketangkap tiga bulan kemudian), kegiatan perlawanan di Kampus ITB (aksi mogok kuliah dan agitasi radio) terus berlangsung.
Kampus itu malah dijadikan tempat konsentrasi, bukan saja oleh mahasiswa ITB, tapi juga mahasiswa perguruan tinggi lain. Maka pada Kamis, 9 Februari, khusus pada ITB dilancarkan penyerbuan, kali ini dengan cara bengis yang menyebabkan delapan mahasiswa dan pelajar luka-luka. Kampus ITB diduduki tentara.

Setelah pendudukan militer itu, Rektor ITB Iskandar Alisyahbana masih membentuk Dewan Pemulihan yang diketuainya sendiri, padahal Jakarta menghendaki dia diganti, serta Menteri P dan K telah mengirim Dirjen Perguruan Tinggi Prof. Dody Tisnaamijaya, untuk menormalkan ITB. Lagipula, Alisyahbana harus dicegah kehadirannya pada rapat kerja rektor se-Indonesia yang akan dibuka presiden 14 Februari.

Pak Harto jangan sampai bertatap muka dengan sang rektor yang telah membiarkan mahasiswa dan kampusnya menyinggung kehormatannya sebagai kepala negara. Rumah sang rektor diberondong tembakan, itulah salah satu isyarat keras dia harus mundur. Tanggal 16 Februari, Alisyahbana menyerahkan jabatannya kepada rektorium ITB yang diketuai Prof. Soedjana Sapi’ie.

”Strategy of Indirect Approach”

Panglima Siliwangi Mayjen Himawan Soetanto mengatakan bahwa pasukan yang menyerbu ITB 9 Februari itu bukanlah kesatuan organik Kodam Siliwangi. Dan ketika penyerbuan brutal itu terjadi, ia sedang berada di Cirebon. Penembakan rumah rektor—berdasarkan pengakuan—juga oleh oknum dari luar Siliwangi.

Sejak semula Himawan merasa tidak perlu melakukan tindakan militer terhadap gerakan mahasiswa. Dalam pengarahannya kepada jajaran Kodam Siliwangi dan ABRI se-Garnisun Bandung-Cimahi dan juga di depan rapat pimpinan Golkar Jawa Barat serta Angkatan Muda Siliwangi, Panglima menggariskan strategi pendekatan tidak langsung.

Ia adalah penganut ajaran Liddle Hart, strategy of indirect approach. Dalam briefing semenjak Oktober 1977 sampai Januari 1978, berulangkali ia menguraikan siasat tersebut, yakni ”pengikatan” gerakan mahasiswa dalam lingkungannya sendiri agar tidak link-up dengan masyarakat luas.
Pendekatan ke tokoh masyarakat, partai politik, alim-ulama untuk membentuk basis massa yang kebal dari pengaruh agitasi mahasiswa (dan kelompok pressure group lainnya). Terhadap mahasiswa sendiri diadakan pendekatan dan dicegah turun ke jalan.

Kekerasan militer haruslah benar-benar sebagai last resort, karena dikhawatirkan akan merusak kepercayaan pada Siliwangi sebagai tentara rakyatnya Jawa Barat. Dan memulihkannya tidak cukup satu-dua generasi. Tapi sikap Himawan Soetanto itu oleh Jakarta dianggap sebagai keraguan, bahkan insubordinasi.

Maka bertepatan dengan pelaksanaan Operasi Kilat, Kopkamtib menurunkan Panglima Kowilhan II Jawa Letjen Wijoyo Suyono ke Bandung. Namun, Laksus Kopkamtib Wilayah Jawa-Nusa Tenggara itu memilih bermarkas di Batujajar. Belakangan, ia mengatakan menjalankan perintah atasan, tapi percaya Himawan Soetanto tahu apa yang sebaiknya ia perbuat.

Rabu pagi, 20 Februari 2008, para eksponen gerakan mahasiswa ITB 1977-1978 akan memperingati peristiwa 30 tahun lalu itu dengan diskusi dan pameran foto di Gedung Usmar Ismail, Jl. Rasuna Said. Para eks tawanan Operasi Kilat tersebut antara lain Rizal Ramli, Al Hilal Hamdi, Heri Akhmadi, Moh. Iqbal, Indro Tjahyono. n (by.
Daud Sinjal)

Tidak ada komentar:

rencana Alloh itu Indah

sWeeT MeMorY...... "NostalGia SMA"